Kamis, 12 Februari 2009

Mimpiku di Borneo

MIMPIKU DI BORNEO

Sunyi malam menyergap badan yang kaku ini. Sepuluh jari tangan hingga sepuluh jari kaki terasa berat untuk melangkah jauh jalan hidup ini. Rentetatan poros semu kehidupan memaksa aku berjalan dalam titian duri-duri tajam berbalut adonan kue lapis yang begitu nikmatnya. Seolah-olah kala duka menghampiri, perasaan senang, riang dan gembira menjemputku di persimpangan sudut kota anyar ini.

Terik matahari mulai meredupkan sinarnya. Hal itu bertanda cahaya bulan akan menggantikan tugas matahari yang mulai pagi tadi menemani aktivitasku. Tak hanya matahari yang berganti tugas dengan bulan, aku pun ikut berganti tugas, walaupun bergantinya tidak harus merubah wajahku ini. Tatkala malam tiba, poros aktivitas yang kujalani tak lagi sama seperti tadi siang. Kali ini aku lebih banyak memanfaatkan waktu untuk duduk santai sambil mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di kelas tadi siang.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengerjakan tugas, dari sudut kanan rumah terdengar teriakan insan yang tak lain adalah Ibuku sendiri. “Dit… Dit…., coba sebentar kamu kesini. Tolong bantu Ibu gorengin tempe dan tahu ini, tolong sebentar soalnya Ibu mau nelpon Bapak kamu.” Ujarnya.

Aku terdiam sejenak, lalu tanpa pikir panjang kulangkahkan kaki ini ke ruang dapur. Setelah sampai ke ruang dapur, Ibu bergegas memberikan penggorengan dan wajannya kepadaku. Tak lama kemudian Ibuku sibuk berburu handphone yang terletak tak jauh dari meja tamu. Sedangkan aku sendiri sibuk melayani percikan-percikan minyak goreng yang kadang meletus begitu saja.

“Assalamualaikum, halo Pak. Gimana kabarnya? Baik-baik saja bukan?” Suara Ibu terdengar lantang di telingaku yang sembari tadi masih menghayati nada gorengan tahu dan tempe. Ibu sedang menelpon Bapakku yang saat ini berada di Kalimantan Barat. Bapakku dipindah tugas ke pulau itu sejak 1 tahun yang lalu. Kini aku, Ibu, dan adik-adikku sendiri masih menetap di Surabaya, Jawa Timur. Ingin rasanya tinggal bersama Bapak di sana, tapi keinginan itu rasanya sulit diwujudkan, karena melihat kondisi keuangan keluarga yang terbilang masih semrawut alias kocar-kacir.

“Apa, Bapak ingin kita semua boyongan ke Kalimantan? Memang Bapak dapat uang dari mana untuk memboyong kita semua ke sana? Sudahlah Pak, gak usah lagian kita semua di sini merasa nyaman kok.”

Perkataan Ibu tadi menghenyakkan tanganku yang asyik menggoreng. Apa.. Bapak mau memboyong kita sekeluarga ke Kalimantan Barat? Ah gak mungkin uang dari mana coba? Pikirku sekejap.

“Ya udah, kalau Bapak memang bertekad untuk memboyong kita semua di sini ke Kalimantan Barat, ya alhamdulillah. Ya udah terima kasih banyak atas usaha yang Bapak lakukan ini, semoga Bapak di sana mendapat rezeki yang halal dan yang pasti semoga Bapak tetap sehat wal afiat. Amin. Assalamualaikum.”

Ketika mendengar bait-bait terakhir ucapan yang Ibu lontarkan itu, aku bergegas menghampiri Ibu untuk menanyakan segala hal yang diperbincangkan dengan Bapak tadi.

“Bu. Memang tadi Bapak ngomong apa sih? Kok kayaknya ada hal penting yang disampaikannya? Tanyaku.

“Begini Dit, tadi Bapakmu itu mau ngajak kita boyongan ke Kalimantan Barat. Pertama sih Ibu kira Bapakmu itu bercanda, eh gak taunya dia memang bertekad membawa kita ke sana. Tapi tentang kapan ke sananya, Ibu juga gak tahu, yang pasti Bapakmu itu sedang berusaha dalam jangka waktu dekat ini.” Jawabnya.

Mendengar jawaban Ibu yang singkat tapi padat itu, aku pun seakan terbang di atas langit yang tinggi. Aku merasa keinginan yang terpendam sejak lama itu, tidak lama lagi akan terwujud.

Malam itu sejenak menjadi moment rajutan mimpi yang selama ini hinggap dalam memori kehidupanku. Dentuman lonceng yang berbunyi setiap jamnya, laksana mewarnai detik-detik malamku saat itu menjadi berarti. Tak ayal ketika dengkuran insan yang berlabuh mengarungi mimpi indah, menjadi penutup karangan bunga serampai untuk hari ini. Terima kasih ya Allah.

*********************************************

Pagi datang tepat pada waktunya. Suara adzan yang berkumandang sebelumnya menjadi pembuka hari ini. Iringan suara merdu kokokan ayam yang bersahutan, seakan memberi daya tarik hari ini lebih mempesona dibandingkan hari-hari yang lalu.

Pagi itu aku bersiap untuk pergi ke sekolah di mana aku menimbah ilmu. SMA 12 September Surabaya, aku duduk di kelas 3 IPS. Di sekolah inilah aku dididik untuk menjadi orang yang berguna bagi khalayak ramai kelak. Selain itu di tempat inilah aku memiliki seorang gadis yang selalu menyayangiku di setiap waktu. Namanya Intan, gadis cantik yang telah lama kukenal sejak pertama kali aku masuk ke sekolah ini. Anaknya sangat perhatian padaku. Walaupun parasnya cantik, dia tidak memperlihatkan kecantikannya itu pada semua orang. Hal itu yang membuatku betah berada dalam status pacar bagi dia.

Seperti biasa pagi itu Intan menghampiriku yang sejak tadi sedang termenung memikirkan perbincangan Bapak dan Ibu tadi malam.

“Selamat pagi Raditku sayang. Kenapa kok kayaknya kurang bergairah pagi ini? Belum makan ya? Kalau gitu yuk kita makan di kantin, biar entar Intan yang bayarin deh.” Ujarnya.

Aku yang tadinya termenung, seketika kaget tatkala Intan merangkul pundakku. “Eh Intan, ngg…ng…ngak kok gak ada apa-apa. O iya gimana tentang lomba cerdas cermat kemarin, apa kamu sukses dapat juara satu?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

“Kamu kenapa sih, ditanya ini malah nanya hal lainnya ke aku. Kamu gak percaya ke aku ya? Aku kan sekarang pacar kamu. Masa’ sih pacar gak boleh tau masalah yang dihadapi kekasihnya? Coba dong cerita, mungkin nanti aku bisa bantu.” Ungkapnya.

“Begini tan. Tadi malam aku mendengar percakapan Ibu dan Bapakku di telepon. Dari percakapan itu tersiar kabar bahwa aku dan keluarga dalam jangka waktu dekat ini akan boyongan ke Kalimantan Barat. Aku sedih jika harus meninggalkan kamu dan semua teman-teman di sini.” Ucapku.

“O begitu toh masalahnya. Gini Dit kamu seharusnya bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani hidup ini dengan berpetualang. Berpetualang dalam artian kamu bisa mencicipi suasana hidup tidak hanya pada satu tempat saja. Mungkin Allah memiliki kehendak lain, bisa saja di sana kamu menjadi orang sukses dan terkenal. Amin.” Ungkap Intan sambil menahan tangis.

“Intan sungguh aku sangat bersyukur bisa mengenalmu, karena hingga detik ini kau selalu ada jika aku dililit suatu masalah. Kalau boleh aku berucap, kau adalah perhiasanku yang tak akan pernah lenyap dalam hatiku selamanya.” Ujarku seraya menghapus kening Intan yang sembari tadi bercucuran air mata.

Seketika bel pun berbunyi. Dengan perasaan gundah aku raih tangan Intan, lalu kuantarkan dia ke depan kelasnya. Kemudian aku pun bergegas masuk ke kelasku untuk menerima pelajaran Antropologi. Perasaan gundah tadi masih tetap terngiang di benakku. Aku tak tahan menahan kesedihanku jika harus meninggalkan Intan. “Ya Allah…. Berikanlah aku kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini.” Ucapku lirih.

“Ass….salamualaikum!!!” Suara guru Antropologi yang tegas menghentikan khidmatku.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh” Ucap anak-anak di kelas serentak menjawab salam yang tegas tadi.

“Hari ini Bapak tidak akan membahas tentang masalah yang ada di Antropologi, karena hal ini Bapak lakukan agar memberikan waktu kalian untuk rehat sejenak setelah dua minggu yang lalu kalian telah bersusah payah untuk mengikuti ujian dengan sepenuhnya.” Tandasnya.

Mendengar pernyataan guru Antropologi tadi, suasana kelas ricuh seketika dengan bermacam-macam teriakan. Ada yang berteriak sambil loncat-loncat kecil di atas lantai, dan ada juga berteriak sambil bertepuk tangan. Aku sendiri hanya sedikit mengeluarkan senyum. Tidak banyak tingkah laku yang kuperagakan menyambut waktu rehat yang diberikan oleh guru Antropologi itu, karena aku masih teringat dengan tangisan seduh yang keluar dari air mata Intan tadi sebelum masuk kelas.

“Tapi kalian jangan senang dulu. Bapak bukan tidak akan menjelaskan sama sekali tentang pembahasan kita kali ini. Ada suatu bahasan yang akan coba bahas pada pertemuan kali ini. Tapi pembahasan itu tidak terlalu fokus kepada pelajaran kita hari ini yakni Antropologi. Pembahasan itu berkenaan dengan beberapa etnis yang ada di Kalimantan Barat.” Ucapnya.

Berbicara tentang hal itu, aku tadinya acuh tak acuh dengan segala ucapan yang dilontarkan oleh guruku itu, kemudian berbalik untuk memperhatikan segala apa yang guruku bahas pada hari itu.

“Kalimantan Barat itu salah satunya terkenal dengan banyaknya etnis yang ada di daerah tersebut. Sebut saja seperti etnis Tionghoa, Jawa, Melayu, Madura, Bugis dan masih banyak lagi yang lainnya.” Ungkap guruku di sela-sela pembahasannya.

Setelah mendengar pembahasan dari guruku itu, kemudian aku pun semangat untuk bertanya mengenai etnis yang ada di Kalimantan Barat. Karena pembahasan kali ini menyangkut daerah baru yang akan kutempati, dan mudah-mudahan menjadi ladang berpijak untukku dalam mencari rizeki dan meraih kesuksesan kelak. Amin..

“Mungkin cukup sampai di sini. Ada yang mau ditanyakan?” Ucap guruku memberikan alokasi waktu untuk siapa saja yang ingin bertanya.

“Saya Pak.” Tukasku.

“Ya silahkan Radit.” Ucap guruku mempersilahkan aku bertanya.

“Begini Pak…. Bagimana sih suasana di sana? Orangnya baik-baik gak Pak? Trus apa di sana banyak orang Cina, gak gini tadi soalnya bapak ada bilang kalo di antara etnis yang ada di Kalimantan Barat itu salah satu di antaranya ada etnis Tionghoa. Tionghoa itu kan bahasa Cina, jadi make’ bahasa itu berarti orang Cina juga kan? Makasih atas kesempatannya.” Tanyaku.

“Dit, kamu mau nanya’ atau mau cari cewek di sana? Mentang-mentang ada orang Cina di sana… tau aja kamu Dit….Dit…” Ucap guruku dengan gurauan khasnya.

“Hu…….. tobat Dit, tobat Dit….” Ucap kawan sekelas dengan serempak.

Asal tahu saja guruku yang satu ini namanya Pak Sarlito. Dia dalam mengajar memang memiliki sifat kedisiplinan yang tinggi, namun dari kedisiplinannya itu terselip suatu sifat yang selalu disenangi oleh sebagian besar muridnya yakni selalu enjoy dan humoris kapanpun dan dimanapun. Oleh karenanya di setiap mengajar, tak jarang jika anak didiknya menjadi sasaran guyonan dia.

“Gini Dit…. Kalau untuk suasana di Kalimantan Barat, Bapak gak tau pasti. Karena Bapak belum pernah ke sana sih… Cuma yang pasti beberapa etnis yang ada di Kalimantan Barat itu hidup berdampingan antara etnis yang satu dengan etnis lainnya. Kalau tentang apakah orang di sana baik-baik atau tidak… ya tergantung gimana kita bersosialisasi dengan mereka. Jika kita bersosialisasinya dengan mereka baik dan sopan, insyaallah mereka juga akan bersikap baik pada kita, namun apabila kita bersikap tidak baik kepada mereka, ya hati-hati aja kamu…. Untuk pertanyaan terakhir itu ya pasti lah… Masa’ udah ada etnis Tionghoa, gak banyak orang Cinanya….ya pasti banyak lah Dit…” Ungkap guruku menjawab seluruh pertanyaanku.

Aku yang mendengar setiap perkataan yang diucapkan oleh guruku tadi, terasa masih ingin sekali bertanya tentang hal yang berkaitan dengan Kalimantan Barat. Namun karena kawan-kawan kelas sudah tidak sabar lagi untuk pulang sekolah, ya pertanyaanku itu kusimpan dan kutahan dahulu, demi menjaga kepentingan bersama.

“Ya demikianlah pembahasan kita kali ini, semoga apa yang kita bahas hari ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin…amin ya rabbal alamin.” Ucap guruku seraya menutup pelajaran hari ini.

Setelah keluar dari kelas, aku sempat berpikir kembali akan pembahasan yang dibahas oleh Bapak Sarlito tadi. Terbesit di pikiranku, apakah pembahasan yang tadi diperbincangkan di kelas, merupakan tanda jika aku akan bermukim dengan jangka waktu yang sangat lama. Tapi sudahlah semoga hari ini memberikan petunjuk bagiku agar nantinya selalu siap untuk menghadapi segala persoalan ataupun cobaan ketika berada di Kalimantan Barat.

Dengan asa pasti, kulangkahkan kakiku untuk segera pergi meninggalkan sekolah yang nantinya akan menjadi salah satu memori manis perjalanan hidupku untuk selamanya.

“Assalamualaikum… Radit pulang Bu….” Ucapku memberi salam kepada Ibuku yang sedang membersihkan kaca rumah.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, duh anakku yang manis, udah pulang ya? Gimana sekolahnya?” Tukas Ibuku yang dengan setia selalu menanyakan hal itu saja setiap aku pulang dari sekolah.

“Alhamdulillah kok Bu seperti biasanya.” Jawabku singkat.

“Oh gitu ya… ya udah kalo gitu. Sekarang mendingan Radit shalat dhuhur, lalu setelah itu baru makan. Itu Ibu udah buat masakan kesukaan kamu, apa lagi kalau bukan soto pedas.” Tandasnya.

Mendengar bahwa Ibu memasak makanan kesukaanku, aku pun semangat lagi untuk melanjutkan aktivitasku yakni shalat dhuhur, lalu kemudian makan siang.

Usai melaksanakan kewajibanku sebagai umat Muslim yang melaksanakan shalat lima waktu, aku pun melanjutkan aktivitasku yang selanjutnya yaitu makan siang. Makan siang kali ini terasa berbeda bagiku. Bukan karena masakannya yang menjadi kesukaanku, melainkan ada topik pembicaraan yang akan kusampaikan kepada Ibuku.

“Tuh sotonya kalau bisa habiskan. Trus jangan lupa nasinya juga dimakan.” Ucap Ibuku.

“Ya Bu… jangan kuatir pasti habis kok sotonya, pokoknya tenang aja deh.” Kataku dengan penuh semangat.

“O ya Bu, Radit hampir lupa, ada yang mau Radit bicarakan malam ini.” Ucapku.

“Ngomong ae, sapuas-puase ngomong, orapopo kok.” Ucap Ibuku dengan menggunakan bahasa Jawa yang tidak terlalu medok sekali.

“Gini Bu, tadi waktu di sekolah Radit dijel.” Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Ibuku memotong pembicaraanku dengan cepat sekali.

“Tunggu dulu, tadi kamu bilang di sekolahan sama seperti hari biasanya, ora’ ono opo-opo? Lah saiki malah ngomongin tentang sekolah. Ya opo Dit…Dit…” Tukas Ibuku dengan bahasa jawanya yang dicampur-campur, biasalah arek Suroboyo gitu loh.

“Ya deh Radit minta maaf, abisnya tadi tu Radit lagi males n capek setelah seharian nerima pelajaran terus.” Ucapku.

“Yo wis, saiki opo se nak kowe omongin?” Ibuku memaafkanku dan seketika juga menyuruhku untuk melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terputus.

“Gini Bu, tadi tuh di kelas Pak Salito guru Antropologiku itu menjelaskan tentang beberapa etnis yang ada di Kalimantan Barat. Kata dia tadi, Kalimantan Barat itu banyak diisi oleh beberapa etnis, seperti etnis Tionghoa, Batak, Jawa, Madura, Melayu, Bugis dan masih banyak lagi etnis-etnis lainnya. Gini Bu Radit sudah gak sabar lagi nih, ingin rasanya mencicipi nikmatnya hidup berdampingan dengan banyaknya etnis yang ada di sana. Radit yakin jika kelak kita berhijrah ke sana, pasti banyak sekali pengalaman demi pengalaman yang akan kita dapatkan nantinya.” Ungkapku kepada Ibu yang sedari tadi masih asyik menyantap makanan soto buatannya.

“Bu…Ibu gak dengar Radit bicara ya? Sepertinya Ibu asyik aja menyantap makanan tanpa memerhatikan Radit yang sedang bicara.” Ucapku agak kesal.

“E.. kata siapa Ibumu ini gak dengar anaknya bicara. Ya Ibu dengarlah Dit, iya Ibu juga setuju dengan kamu. Sekarang aja Ibu lagi mikirin gimana kalo nantinya kita jadi hijrah ke Kalimantan Barat. Ibu juga yakin kalau di sana nanti Ibu akan memiliki banyak saudara-saudara baru yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.” Ungkap Ibu dengan penuh semangat.

“Ya udah Bu, moga-moga aja kita akan jadi hijrahnya. Ya walaupun nantinya misal kita gak jadi hijrah, ya juga gak apa-apa. Toh kita juga masih betah tinggal di sini.” Tandasku.

“Ya Ibu juga berharap demikian. Semoga aja Bapakmu berhasil ngumpulin duit ya Dit. O ya kalo udah makannya kita doakan Bapakmu ya, moga di sana ia sehat wal afiat dan juga senantiasa dilindungi oleh Allah SWT. Amin.” Ucap Ibuku sembari menaruh piring yang kotor ke tempat cuci piring.

“Bu, Radit udah selesai makannya. Yuk kita sama-sama memanjatkan do’a kepada Allah SWT, agar Bapak di sana diberikan kesehatan dan dipermudahkan rizekinya. Ilahadratinnabi mustofa sallawwaaliahi wasallam al-fatihah.” Panjatku dengan khidmat.

Cahaya matahari terus menampakkan sinarnya. Awan-awan pun kalah pamor akan teriknya. Siang itu setelah menyantap makanan kesukaanku, aku pun duduk di teras depan sambil melihat pemandangan luar yang asri dengan bunga-bunga yang tertanam di halaman depan.

“O ya Bu, dari tadi Radit gak ngeliat Arman nongol di rumah, ke mana ya dia?” Tanyaku.

“O si Arman adikmu itu, emang sejak pulang sekolah tadi dia pergi ke rumah temannya. Bilangnya sih katanya mau ngerjain tugas kelompok.” Jawab Ibu dengan tenang.

“O gitu ya. Awas tu Bu, anak kayak si Arman itu perlu dinasehatin dan diberikan informasi tentang kenakalan remaja saat ini. Bukannya Radit iri, tapi Radit cuma mau ingatkan kalau zaman sekarang pergaulan itu sudah bebas, seena’e dewe.” Ungkapku mengingatkan Ibu untuk selalu mengontrol adikku si Arman yang saat ini telah duduk di bangku kelas 1 SMA.

“Iyo Dit. Ibu juga sempat nasehatin dia kok, tapi Ibu percaya sekali ama adikmu itu. Dia itu anaknya penurut, gak banyak tingkah dan sopan lagi sama semua orang. Ibu suka deh punya dua anak yang semuanya penurut dan patuh sama orangtua. Mmmuah.” Ucap Ibuku dan seketika langsung mencium dahiku.

*******************************************

Hari ini akan terasa nikmat jika dapat berkumpul secara utuh dengan keluarga. Tapi kenikmatan itu tidak akan dapat diperoleh untuk hari ini. Masih ada beberapa hari, bulan atau bisa juga tahun. Namun asa tetap di jiwa. Semoga impian untuk berkumpul secara utuh dengan keluarga dapat terwujud secepatnya. Amin…

Matahari telah beranjak dari tugasnya kala itu, kini saatnya bulan yang akan menggantikan tugas matahari untuk selalu menerangi sunyi malam yang indah nan ceria ditemani kelap-kelip bintang yang berkilauan.

Malam itu aku memang sengaja untuk tidur lebih awal, karena besok paginya aku harus pergi ke sekolah lebih awal. Aku tidak mau terus-terusan terlambat dan selalu di hukum dengan petugas satpam sekolah.

“Dit kalau mau tidur jangan lupa baju dan celana seragam sekolah kamu dipersiapkan di meja belajar. Biar besok gak repot-repot lagi nyarinya.” Ibuku mengingatkanku agar mempersiapkan seragam sekolah untuk esok hari.

“Iya Bu. Radit pun sekarang lagi nyari baju dan celananya nih di lemari.” Ucapku menjawab perkataan Ibu.

Setelah mencari beberapa lama baju dan celana seragam sekolah. Akhirnya kutemukan juga baju dan celana seragam tersebut. Usai menemukan baju dan celana seragam tersebut, kemudian kutaruh itu semua di atas meja belajar milikku. Lalu dengan mata yang mulai sempoyongan akibat mengantuk, seketika kurebahkan tubuh di atas kasur yang empuk. Dengan mata yang masih terbuka, aku berdo’a dan meminta kepada-Nya agar diberi petunjuk tentang kota anyar yang insyaallah akan kutempati.

Entah mengapa setelah beberapa lama aku tidur dengan nikmatnya, lalu aku bermimpi. Dalam mimpiku itu, aku dihadapkan pada suasana yang tak pernah kulihat sebelumnya. Rumah-rumah adat dari berbagai daerah berjejeran, lalu masyarakat yang berlalu-lalang di jalan, wajah-wajahnya seperti tidak pernah kulihat sebelumnya. Di antara wajah-wajah yang kulihat dalam mimpiku itu, ada sosok wanita berparas cantik yang hampir mirip dengan Intan kekasihku. Namun ada satu hal yang membedakan Intan dengan wanita yang kulihat dalam mimpiku itu yakni dia mengenakan jilbab putih yang bersinar. Subhanallah.

“Dit, Dit.. bangun tuh dah subuh. Sana ambil wudhu’ trus shalat langsung jangan sampai tidur lagi.” Seketika Ibuku membangunkanku dan sekaligus membuyarkan seluruh mimpi indahku.

“Ha, apa Bu, mana gadis berjilbab tadi. Tadi dia perasaan di sini kok.” Kataku.

“Udah jangan mimpi lagi. Pake’ gadis berjilbab segala lagi. Mang kamu mimpi apa semalam?” Tanya Ibu.

“Ha mimpi... perasaan tadi gadis berjilbab itu datang menghampiriku kok.” Jawabku.

“Ya terserah kamulah mau mimpi apaan. Yang penting sekarang kamu mandi trus shalat, lalu setelah itu bersiap-siap untuk berangkat sekolah.” Tandas Ibuku menyuruhku untuk kedua kalinya.

Setelah mendengar perintah Ibu itu, kemudian aku beranjak dari tempat tidur, lalu membersihkan badan dan dilanjutkan dengan melaksanakan shalat shubuh. Usai melaksanakan shalat shubuh, kemudian kubergegas memakai baju seragam sekolah dan tak lama kemudian berpamitan pada Ibu untuk berangkat sekolah.

**************************************************

Pagi itu suasana sekolah masih sepi. Tidak ada satu siswa pun yang telah berada di sekolah. Yang ada hanyalah tukang bersih sekolah. Pada saat itu waktu menunjukkan pukul 06.00 pagi. Memang waktu yang masih terlalu pagi untuk para siswa dan siswi SMA. Biasanya mereka paling cepat datangnya ke sekolah sekitar pukul 06.30. dan bagi yang keseringan terlambat mungkin bisa sampai hingga pukul 07.30.

Untuk menghilangkan rasa sepi di kelas sendirian, aku mencoba mengingatkan kembali tentang mimpi indahku tadi malam. Sungguh mungkin itulah mimpi paling indah dari mimpi-mimpi yang sebelumnya pernah kulihat. Dan yang paling aku terkesima dalam mimpi itu yakni kala melihat sosok gadis berjilabab putib bersinar yang menghampiriku. Sungguh gadis itu sangat cantik dan mempesona.

Ketika aku asik merenung akan arti mimpi itu, lalu ada seseorang yang menghentakkan tangannya ke pudakku. Aku terkejut kala melihat seseorang di balik tubuhku. Ya, seseorang itu adalah Intan kekasihku.

“Eh Intan, tumben berangkatnya kok pagi bener. Gimana kemarin gak nangis lagi kan?” Ucapku seraya memberikan pertanyaan pada Intan.

“Oh yang kemarin toh.. gak kok, Intan gak nangis lagi. Gini, Intan datang pagi-pagi karena hanya ingin ketemu ama kamu. Intan tau kalo kamu pasti hari ini datangnya pagi.” Ucap Intan seraya tersenyum.

“Loh kamu kok tau kalo aku mau datang sekolah pagi-pagi sekali?” Tanyaku.

“Ya iyalah Intan gitu loh… Intan tau alasan kamu berangkat pagi sekali ke sekolah. Kamu takut di hokum lagi kan, gara-gara terlambat ke sekolah terus.” Ucap Intan penuh percaya diri.

“Ya Tan. Aku jadi malu nih. Iya gini selain karena aku gak mau kena hokum terus gara-gara terlambat, ada hal lain yang juga membuatku untuk datang pagi sekali ke sekolah. Aku ingin akhir kenangan manisku di sekolah ini berakhir dengan khusnul khotimah.” Ungkapku.

“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu nyatanya. Berarti aku tak salah memilihmu sebagai kekasihku.” Ucap Intan seraya memandang wajahku.

Biarkan aku menjaga perasaan ini, hoo… menjaga segenap cinta yang telah kau beri…. Seketika itu nada sambung pribadi (NSP)-ku berbunyi. Tanpa pikir panjang kuambil handphoneku dari kocek celana. Betapa kagetnya setelah kulihat layar handphone terpampang nama Ibuku memanggil.

“Assalamualaikum Bu. Ada apa ya Ibu nelpon Radit?” Tanyaku.

“Ini lho Dit, tadi Bapakmu nelpon, katanya kita boyongannya besok ke Kalimantan Barat.” Jawabnya.

Sekejap aku kaget bukan kepalang. Pasalnya baru kemarin Bapak nelpon untuk membicarakan rencana boyonganku sekeluarga. Tapi kenapa begitu cepatnya….. apa aku sedang bermimpi. Pikirku.

“Apa Ibu bilang. Besok? Apa gak bisa ditunda lagi?” Tanyaku. Tak sempat kuberbicara lagi handphone Ibuku terputus. Entah apa karena pulsanya habis, ataukah Ibu memang sengaja mematikannya agar supreise. Sungguh seketika itu pula aku bercakap sambil memandang Intan yang sejak tadi mengeluarkan air mata.

“Intan, nanti jika aku sudah tinggal di Kalimantan, aku akan menyediakan setengah hatiku hanya untukmu. Ingat hanya untukmu.” Ujarku seraya memeluk Intan.

Tak lama bel pun berdering, pertanda bahwa saatnya masuk kelas. Saat itu pula Intan memberi sebuah gantungan kunci yang bertuliskan nama Intan. “Radit.. gantungan kunci ini merupakan tanda jodoh bagi siapa pun yang memilikinya. Nanti jika di sana kamu melihat ada seorang gadis yang memiliki sama persis dengan gantungan kunci ini, maka itulah cinta dan jodoh yang kamu cari.” Ujarnya seraya meninggalkanku dari hiruk-pikuk para murid yang hendak masuk ke kelasnya masing-masing.

***************************************

Bumi berjalan sesuai porosnya. Tatkala singgah diperpangkuan sinar matahari, berarti munculnya pagi dan siang. Sebaliknya tatkala singgah dibawah kuasaan lokasi bulan, hal itu berarti datang waktu malam. Selanjutnya malam bersiap kembali menanti datangnya matahari untuk menggantikan posisinya kala itu.

“Dit… nanti kalau naik kapal laut jangan kemana-mana ya. Ibu minta tolong adiknya dijaga, jangan sampai keluar dari dek kapal.” Ujar Ibu menasehatiku.

“Iya Bu… insyaallah nanti Radit berusaha semaksimal mungkin, agar adik gak keluar dari dek kapal. Pokoknya tenanglah serahkan saja semua ke Radit anak lelakimu ini.” Tandasku.

Perjalanan menuju Kalimantan Barat, kami lalui dengan memakai jasa kapal laut. Menurut cerita dari orang-orang yang pernah berlabuh ke Kalimantan Barat, waktu perjalanan dari Surabaya ke Kalimantan Barat sekitar 2 hari 2 malam. Oleh karena itu, aku beserta Ibu dan adik-adikku telah menyiapkan persediaan makanan yang cukup untuk jangka waktu tersebut.

Dalam perjalanan yang memakan waktu lumayan lama itu, kadangkala aku menangis sendiri. Hati ini tak kuasa memendam rasa sedih beraduk gembira. Aku sedih karena harus meninggalkan Intan dan semua teman-teman yang ada di Surabaya. Dan sebaliknya, aku gembira karena di Kalimantan Barat nanti akan banyak pengalaman-pengalaman baru, teman baru, sekolah baru, intinya semuanya serba baru.

“Kak Radit tolong temenin Arman dong.” Adikku memecah lamunanku.

“Iya Dik, emang Adik mau kemana?” Tanyaku singkat.

“Arman mau beli kacang dan air minum. Air minum kita udah habis kak. Ayo cepetan kak!” Tegasnya.

Aku pun bergegas menyusul Adikku yang telah terlebih dahulu menuju kabin kantin kapal.

Sinar kuning bercampur aduk dengan kilauan warna merah merona. Awan putih tebal terkikis sedikit demi sedikit hingga menyisakan balutan laksana kapas digulung. Tiupan angin keroncong berubah menjadi hembusan irama melodi dangdut yang aduhai nikmatnya. Terima kasih ya Allah.

“Dit, besok pagi insyaallah kita udah nyampai di pelabuhan Kalimantan Barat. Jadi malam ini tolong bantu Ibu untuk mempersiapkan dan membenahi semua barang bawaan kita. Diusahakan jangan sampai ada yang tercecer ya Dit.” Ucap Ibuku.

“Insyaallah Radit usahakan seoptimal mungkin agar tidak ada barang-barang kita yang tertinggal di kapal ini.” Ujarku dengan penuh percaya diri.

Nyamuk-nyamuk kecil berterbangan mencari darah segar di setiap pelandasannya. Darah-darah segar milik manusia yang tidur terlelap dicicipinya satu persatu. Malam itu nyamuk-nyamuk kenyang akibat menghisap darah murni dari sekumpulan insan yang terbuai indahnya mimpi.

************************************************

Sekumpulan anak-anak Adam tiba di tempat yang dituju. Panorama kalem menghiasi chassing kota berjuluk Khatulistiwa itu. Cagar alam yang masih murni terbumbu dalam paket spesial kota yang terkenal dengan beragam etnis dan budayanya itu.

Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku beserta Ibu dan adik-adikku sedang melihat pemandangan indah di jendela kapal. Dalam pemandangan itu telah banyak kapal-kapal nelayan yang ditepikan ke bibir laut. Dan yang paling menarik yakni banyak sekumpulan orang yang berlalu-lalang menjalankan aktivitasnya sambil mengendarai kapal kecil.

“Dit, alhamdulillah akhirnya kita sudah sampai di Kalimantan Barat. Sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 menit lagi, kapal ini akan menepi.” Ungkap Ibu dengan semangatnya.

“Alhamdulillah ya Bu, akhirnya kita datang Kalimantan Barat!” Ucapku dengan teriakan yang lantang. Akibat dari teriakanku yang lantang tersebut, orang-orang yang ada di kapal memarahiku dan membentakku.

“Hey kalau bicara jangan nak teriak-teriak bocah!” Ujar salah seorang penumpang yang berada di dekatku.

“Iya Pak, maaf…maaf…maaf.” Ucapku sambil tersipu malu.

Tak lama ketika insiden memalukan itu usai. Ada salah seorang penumpang yang bertanya padaku. “Bang, Abang nak turun dimana? Di Pontianak ke? Atau di Sambas?” Tanyanya.

Aku yang masih trauma akan insiden memalukan itu, seketika merespon pertanyaan dari salah seorang penumpang kapal tadi. “Saya gak tau ya Mas, soalnya saya baru satu kali ini pergi ke Kalimantan Barat. Memang di Kalimantan Barat itu ada daerah apa aja ya Mas?” Jawabku sambil mengajukan balik pertanyaan.

“O Abang ini baru satu kali pergi ke Kalimantan Barat ya. Di Kalimantan Barat ini banyak sekali daerah-daerahnya, seperti Sintang, Sambas, Sanggau, Singkawang, Bengkayang, Pemangkat dan masih banyak lagi daerah-daerah lainnya. Tapi dari semua itu ada ibu kota provinsi Kalimantan Barat yaitu Pontianak.” Ujarnya.

Aku yang tadinya terfokus pada mimik pembicaraan salah seorang penumpang yang menjelaskan tentang daerah-daerah di Kalimantan Barat, seketika merubah haluan kepada Ibuku. “Bu, kata orang di sebelah kita itu, Kalimantan Barat memiliki banyak sekali daerah-daerah. Radit merasa bingung Bu, kita ini sebenarnya mau ke daerah mana?” Tanyaku.

“O gitu ya. Ya udah tenang aja, Ibu mau SMS Bapakmu dulu.” Jawab Ibuku seraya mengambil handphone yang ada di tas gandengnya.

Assalamualaikum, halo Bapak, sekarang Bapak ada dimana? Ibu dan anak-anak sebentar lagi ada di pintu keluar pelabuhan. Tolong Bapak jemput Ibu di sana ya.” Begitulah isi sms dari Ibu.

Ketika aku beserta Ibu dan adik-adikku turun dari kapal, tak lama kemudian handphone Ibuku berbunyi. “Waalaikumsalam. O sudah nyampai toh. Bapak sekarang ada di pintu luar pelabuhan. Bapak tunggu di sana ya. Awas hati-hati!” Begitulah jawaban singkat sms dari Bapak.

“Alhamdulillah, akhirnya kalian semua sampai dengan selamat.” Ucap Bapakku sambil memeluk kita semua. “Sekarang kita langsung pergi ke rumah dinas Bapak yang ada di Pontianak. Di rumah itu nanti kita akan tinggal.” Ucap Bapak sambil memasuki barang bawaan kami semua ke garasi mobil tua yang dipakainya.

Sesampainya di rumah dinas Bapak yang berdomisili di Jl. Alianyang No.32 itu, seolah-olah aku merasakan kenyamanan yang tak ada duanya, dibandingkan tempat tinggal yang kutempati sebelumnya. Suasana di sini begitu tenang. Walaupun terletak di pinggir kota, akan tetapi rasa nyaman menghinggapi di benak jiwa dan raga.

Tak usai aku mengagumi lokasi rumah dinas Bapak yang strategis dan nyaman, seketika Bapak memegang pundakku.

“Eh Dit, mulai besok kamu sekolah di SMAN 1 Pontianak. Di sekolah barumu itu nantinya kamu akan dapat teman baru, suasana baru, dan pastinya pengalaman baru.” Ujar Bapak.

“Masa’ sih Pak? Yang benar saja, aku kan baru saja menginjakkan kaki di Pontianak. Mana aku tahu jalan di setiap sudut kota Pontianak ini.” Ucapku sambil menggerutu.

“O masalah itu. Tenang Bapak sudah mempersiapkannya dari awal kok. Besok ada teman anak Bapak yang sekolahnya sama denganmu. Jadi besok pagi anaknya ke sini. Sekalian dia yang nanti akan antar pergi dan pulang kamu ke sekolah. Gimana?” Ujar bapak.

“Ya udah kalau gitu, terima kasih banyak ya Pak.” Ucapku seraya pergi meninggalkan Bapak.

Pagi hilang tanpa bekas kala malam beranjak tampil dalam kilauan warna kota yang baru saja aku nikmati. Mulai detik ini aku tinggal di kota anyar ini dengan teman dan suasana baru. Selamat datang Pontianak, aku menunggu keajaibanmu.

*******************************************

“Radit, ini kenalin, namanya Faishal. Dia anak dari teman bisnis Bapak di Pontianak. Dia ini yang nanti akan menjadi teman sekaligus sahabat kamu di sekolah yang baru.” Ungkap Bapakku.

“Kenalkan namaku Radit, pindahan dari SMA 12 September Surabaya, Jawa Timur. O namamu Faishal ya. Sebelumnya terima kasih banyak atas bantuan yang kamu berikan nantinya.” Ucapku.

“Sama-sama. Iya namaku Faishal, biasa sih ama teman-teman sering disebut Ichal.” Ungkapnya.

Waktu terus bergulir, perkenalanku dengan Faishal ditutup dengan menyalami orang tuaku, kemudian menaiki motor yang Faishal bawa. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, Faishal mengendarai motornya dengan penuh kelihaian. Aku yang tidak terbiasa akan hal itu, lalu meminata kepada Faishal untuk mengurangi kecepatan laju motornya. Setelah Faishal mengurang kecepatan laju motornya, aku melihat ke sebelah kanan dan kiri jalan yang dilalui oleh kami berdua. “Sepertinya kota ini pernah ada dalam bayangan mimpiku.” Pikirku. Sungguh seakan tak percaya bahwa orang-orang yang kulihat di jalan pun persis sekali dengan apa yang kulihat dalam mimpiku. Adapun rumah-rumah adat berjejeran. Ketika aku keasyikan melihat suasana di Kota Pontianak, lalu tak lama berselang, kami berdua tiba di sekolah tepat pada waktunya.

Hari ini pertama kalinya aku masuk kelas yang baru. Di kelas inilah aku membuat sejarah baru mengenai pendidikanku. Dan dari sekolah baru ini pula, insyaallah aku akan menemukan seorang gadis yang memiliki gantungan kunci sama persis dengan milik Intan.

“Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru pindahan dari SMA 12 September Surabaya, Jawa Timur.” Ucap seorang guru yang berdiri tegak di sampingku. “Ya Saudara Radit silahkan memperkenalkan diri.” Lanjutnya mempersilahkanku untuk segera mengenalkan diri di depan siswa-siswi yang ada di kelas tersebut.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Namaku Radit Aditya Nugraha. Dipanggilnya Radit. Aku pindahan dari SMA 12 September Surabaya, Jawa Timur. Saat ini aku tinggal di Jl. Alianyang No.32, Pontianak. Di Pontianak ini aku tinggal dengan kedua orang tua beserta adik-adikku. Mungkin itu saja yang dapat kuperkenalkan. Cukup sekian terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Ujarku singkat.

“Ya itulah tadi teman baru kita yang bernama Radit Aditya Nugraha. Mungkin sampai di sini ada yang ingin bertanya tentang Radit, dipersilahkan.” Jelas guru yang sembari tadi ada di sampingku.

Seraya menunggu pertanyaan yang akan mengalir padaku. Aku pun sibuk memandang wajah-wajah unik dari teman-teman sekelas. Mengapa dibilang unik? Karena banyak sekali wajah-wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Di antara mereka ada yang berwajah tampan layaknya model, ada yang cantik seperti artis, ada juga yang mirip dengan Tukul Arwana, akan tetapi dari semua wajah yang telah kupandangi itu, ada satu wajah yang seolah-olah mirip sekali dengan paras Intan dan gadis berjilbab putih bersinar yang pernah ada dalam mimpiku. “Ya Allah apakah ini adalah mimpi lagi yang kau berikan kepadaku?” Ucapku yang dari tadi menatap dengan begitu lama gadis berjilbab putih yang ada di kursi paling belakang sebelah kanan kelas.

“Eh ngomong-ngomong nih apa kamu udah punya pacar?” Ungkap salah satu siswi yang ada di kelas itu. Aku yang sembari tadi terpaku pada sosok gadis berjilbab yang ada di sudut kanan kelas, seketika kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang siswi yang ada di sudut kiri kelas.

“A..apa, be..belum kok, belum punya.” Ucapku tegang.

“Apa-apaan kamu ini, coba kalau nanya jangan yang begituan.” Ujar guru di sampingku, sambil memarahi siswi yang bertanya tadi. Tepat ketika guru memarahi siswi tersebut, terdengar bahakan siswa-siswi yang membuat suasana di dalam kelas semakin ribut.

**************************************

Mentari pagi membumbui senyumku yang sejak kemarin merona tanpa henti-hentinya. Lesung pipit bergerilya membentuk paras wajah, seolah-olah semakin mengukuhkan bahwa hari ini adalah hari kebahagiaan penuh cinta bagiku.

Hari ini adalah hari kedua aku masuk kelas. Setelah kemarin telah menjadi momentum yang tak akan pernah kulupakan untuk selama-lamanya. Terbesit dalam pikiranku, akankah hari ini aku menemukan gadis yang memiliki gantungan kunci sama persis dengan milik Intan?

“Anak-anak kita lanjutkan pelajarannya besok. Sampai di sini saja pelajaran kita, dan akhirnya Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Ucap guru matematika mengakhiri pelajarannya.

Tak lama berselang bel pun berbunyi. Itu tandanya jam istirahat. Semua siswa-siswi di kelasku berbondong-bondong memenuhi kantin di sebelah kanan parkiran sekolah. Sedangkan aku dan Faishal masih enak saja duduk di bangku masing-masing. “Dit, yuk pergi ke kantin. Kita hilangkan rasa stress dulu Dit. Capek nih.” Ungkap Faishal.

“Sudahlah pergi aja duluan sana.” Ucapku tegas.

“Ya udah kalau gak mau, aku pergi duluan ya.” Ucap Faishal seraya meninggalkan kelas.

Mataku menatap setiap sudut ruangan kelas. Kiraku mengenal lebih jauh suasana di dalam kelas. Namun setelah menoleh sedikit ke belakang. Sungguh begitu kagetnya, ketika gadis berjilbab yang mirip sekali dengan paras Intan dan gadis berjilbab yang ada dalam mimpiku itu sedang asyik membaca buku pelajaran.

Dengan tanpa ragu aku pun menghampirinya. “Ehm. Assalamualaikum Wr Wb. Kenalkan namaku Radit. Kalau boleh tahu namamu siapa?” Tanyaku.

“Waalaikumsalam. Namaku Aisyah. Sebelumnya maaf ya, aku harus pergi ke perpustakaan sekarang.” Tandasnya.

Dengan jalan yang tergesa-gesa, kemudian ia pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di dalam kelas. Aku yang masih berada di sebelah bangku gadis berjilbab tersebut, secara tidak sengaja menemukan gantungan kunci yang bentuk dan gambarnya sama persis dengan kepunyaan Intan. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menyusul gadis berjilbab itu.

Tak sampai di perpustakaan gadis berjilbab itu kembali. Mungkin ia melupakan gantungan kuncinya yang saat ini berada di tanganku.

“Aisyah apa ini yang kamu cari?” Tanyaku lugas seraya memberikan gantungan kunci itu kepada Aisyah.

“Iya betul itu yang kucari. Makasih ya telah menemukannya.” Jawabnya singkat.

“Sama-sama. O ya tadi kita kan masih belum sempat selesai perkenalannya. Gimana kalau kita lanjutkan. Aisyah gak terlalu sibuk kan? Bagaimana kalau perkenalannya sambil kita minum es kopyor di kantin?” Tawarku kepada Aisyah.

“Bbboleh…” Jawab Aisyah singkat.

“Terima kasih banyak.” Kataku.

Seakan-akan tak mau hilang kesempatan untuk dapat berbicara langsung dengan Aisyah, aku pun bergegas mengikuti arah jalan Aisyah untuk pergi ke kantin. Maklum ini adalah pertama kalinya aku mengitari lingkungan sekolahku yang baru. Jadi tidak heran jika yang menjadi komando jalan adalah Aisyah. Akhirnya setelah puas berjalan mengitari lingkungan sekolahku yang baru, aku dan Aisyah pun akhirnya sampai ke tujuan yakni kantin sekolah. Letak kantin sekolah di SMAN 1 Pontianak ini berada di belakang sekolah. Jadi pantas saja jika aku langsung meminta minum air putih sebagai penghilang dahaga.

“Aisyah kamu gak haus apa, padahal letak antara kantin dan kelas kita itu jauh banget. Kalau gak mau minum air putih silakan pesan apa saja yang Aisyah mau. Apa perlu Radit ambilin?” Ujarku dengan penuh perhatian.

“Gak usah repot-repot kok Dit, biar saja yang ambil sendiri.” Ucapnya.

“Ya udah kalo gitu. O ya ngomong-ngomong sekarang Aisyah di Pontianak tinggal dimana? Emang Aisyah asli orang Pontianak ya?” Ujarku memulai pembicaraan.

“Aisyah di Pontianak tinggal di Jl. Kobar, Gg. Kencana No.11. Aisyah sebenarnya bukan asli orang Pontianak, cuma tinggal di Pontianak ini sudah lumayan lama sekitar 6 tahun. Aisyah sendiri aslinya dari Sambas.” Ungkapnya.

“O aslinya dari Sambas ya. Emang Sambas tu dimana sih? Gak soalnya dulu waktu pas pelajaran Sejarah, ada guru yang sepintas mengatakan nama daerah Sambas, Kalimantan Barat.” Tanyaku dengan antusias.

“Sambas itu salah satu daerah yang ada di Kalimantan Barat. Letaknya lumayan cukup jauh dari sini. Sambas merupakan salah satu ikon berharga bagi Kalimantan Barat, karena di sana terdapat keraton Sambas yang terkenal itu.” Jawab Aisyah seraya menegukkan minuman the hangat yang dipesannya.

“O gitu ya. Selain Sambas kira-kira daerah mana lagi yang ada di Kalimantan Barat ini yang sangat menarik untuk dikunjungi?” Tanyaku kembali.

Ada satu daerah lagi yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi ole seluruh wisatawan, baik itu wisatawan dalam negeri ataupun mancanegara. Daerah tersebut yakni Singkawang namanya. Di sana terdapat suatu wisata baharinya yang indah nan eksotis. Sekali-sekali maen lah ke Singkawang. Pokoknya dijamin betah deh berjemur di sana seharian. He…he...” Ujar Aisyah seraya diringi oleh ketawanya yang malu-malu.

“Ngapain hanya berjemur, sekalian aja dibakar badanya ampe’ gosong. Ha…ha…” Jawabku dengan guyonan sederhana.

“Hi…..hi…..hi…..betul juga ya kamu Dit.” Balas Aisyah dengan ketawa manisnya.

“O ya ngomong-ngomong nih. Gantungan kunci tadi itu asli punya milikmu ya?” Tanyaku.

“Iya. Memang ada apa?” Aisyah balik bertanya.

“Gak apa-apa kok. Cuma ngeliat gantungan kuncinya itu lucu banget, pas buat gadis berjilbab secantik kamu.” Ucapku memuji.

“Ah Radit bisa aja. Gak kok tadinya gantungan kunci ini sebelumnya bukan milikku, namun milik orang lain. Dan tadinya juga gantungan kunci ini tidak ada tulisan namanya seperti sekarang. Ada rahasia di balik gantungan kunci ini. Kata orang yang ngasihin gantungan kunci ini sih kalau ada seorang cowok yang memegang gantungan kunci yang serupa dengan kepunyaanku, maka dia adalah jodoh yang diberikan Tuhan kepadaku. Tapi menurutku itu semua adalah karangan atau dongeng semata. Jadi aku gak pernah percaya dengan yang demikian.” Ujarnya.

Mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Aisyah, aku pun serasa berada di atas langit. Aku pun berkata dalam hati “Ya Allah apakah ini adalah jawaban dari mimpi yang pernah kualami ketika malam itu?”

Walaupun pernyataan yang dilontarkan Aisyah mengenai gantungan kunci miliknya itu sama persis seperti apa yang diucapkan juga oleh Intan kala itu. Aku tidak serta merta mengungkapkan secara jujur jika aku adalah cowok yang juga memiliki gantungan kunci yang sama persis itu.

Namun dalam hatiku terbesit ucapan “Walaupun dalam detik ini dan jam ini aku tidak mengakui bahwa aku adalah cowok yang dimaksud itu, namun aku telah merasa bersyukur sekaligus bangga karena pertama, aku bersyukur atas mimpi indah yang diberikan oleh Allah SWT kepadaku dan aku juga bersyukur dapat melihat mimpi itu di dunia nyata. Kedua, aku bangga karena dapat menjadi salah satu bagian dari Provinsi Kalimantan Barat atau yang memiliki julukan Borneo. Semoga dengan adanya aku di sini setidaknya dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Kalimantan Barat pada umumnya dan aku sendiri serta seluruh keluargaku khususnya. Amin…

Pontianak, 26 Mei 2008

* Tulisan ini telah terbit di buku berjudul “Mimpi Di Borneo” Cet: STAIN Press 2009.

MY PROFILE

Nama lengkapnya Septian Utut Sugiatno. Lahir di Sumenep 12 September 1988. sejak mudanya ia selalu gemar dengan namanya aktivitas yang padat. Saat jenjang Sekolah Dasar saja, ia sudah ikut andil di organisasi kelas sebagai sekretaris. Selain ambil bagian dalam organisasi kelas, sejak SD ia sudah mencicipi yang namanya organisasi ekstra. Ia bergabung dalam komunitas Pemuda Islam Indonesia (PII) di Sumenep, Jawa Timur. Setelah lulus SD, ia melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep-Madura, Jawa Timur. Mulai dari sinilah ia banyak memperoleh ilmu yang bermanfaat, seperti pramuka, nasyid, pidato bahasa Arab dan Inggris, dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lainnya yang ia dapatkan di pondok itu. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMP di Pondok Pesantren Al-Amien, kemudian ia melanjutkan tingkat pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas di Pondok Pesantren Al-Amien juga. Di SMA inilah ia mulai mengembangkan sayapnya dalam berorganisasi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Keterampilan dan Kepramukaan pada tahun 2005. Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Jamiatul Qura’ pada tahun 2003-2004. Setelah lulus dari Pondok Pesantren Al-Amien, ia hijrah ke Kalimantan Barat, tepatnya di Pontianak. Kini ia kuliah di Jurusan Dakwah STAIN Pontianak, dengan program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Saat ini aktivitasnya banyak diisi dengan hal-hal yang berbau tulis-menulis. Ia sering mengsisi kolom-kolom publik ataupun opini di media-media yang ada di Kalimantan Barat. Tulisannya yang pernah ia buat seperti: Di Balik Euforia Valentine Day (Borneo Tribune), Pemberdayaan SDM Secara Optimal (Borneo Tribune) dan menulis cerpen berjudul Hitam dan Putih dan Preman Jadi Orang Beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar