Kamis, 12 Februari 2009

Makna Persaudaraan Di Balik Imlek

MAKNA PERSAUDARAAN DI BALIK PERAYAAN IMLEK

Oleh: Septian Utut

Sebelum ini kita telah mendengar dentuman kembang api yang berleok indah di sengatan malam langit khatulistiwa. Malam itu benar-benar menjadi momentum yang sakral bagi orang-orang yang merayakannya. Dentuman kembang api adalah salah satu rutinitas dan tradisi yang didengungkan kala perayaan tahun imlek tiba. Selain itu, lampu lampion bercorak merah dan bunga sakura selalu menjadi warna tersendiri dari perayaan tahunan ini.

Tak jarang banyak sekali orang yang berlalu lalang untuk tidak melewati detik-detik pergantian tahun ala warga khonghucu ini. Dari kalangan etnis Tionghoa sendiri maupun dari kalangan pribumi sekalipun turut bersuka cita menikmati indahnya malam pergantian tahun yang penuh dengan rekayasa kelap-kelip bintang ciptaan manusia.

Namun dalam area eksternal terkait akan perayaan imlek ini, ada satu hal yang kiranya hingga saat ini menjadi pro-kontra di kalangan masyarakat, khususnya bagi umat Muslim. Hal tersebut berkenaan dengan hukum merayakan atau sekedar mengikuti dan menikmati perayaan tahun baru imlek bagu umat Muslim.

Seperti banyak diketahui dari masyarakat bahwa imlek hanya merupakan suatu tradisi. Peringatan ini tidak ada kaitannya dengan agama (khonghucu) itu sendiri. Buktinya, seperti yang dikatakan Sekretaris Umum DPP PITI (Pembina Imam Tauhid Islam), H. Budi Setyagraha (Huan Ren Cong) bahwa imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina, selanjutnya kata beliau, Imlek bukan perayaan agama. (Lihat “Sekjen DPP PITI: Rayakan Imlek Jangan Berlebihan”, Kedaulatan Rakyat, Selasa 13 Februari 2007, hal.2).

Dari pernyataan inilah kita dapat mengambil suatu kesimpulan sementara bahwa imlek adalah suatu tradisi dan tidak ada kaitannya dengan agama. Namun kesimpulan sementara itu dapat terbantahkan kala kita merujuk pada bukunya Hendrik Agus Winarso yang berjudul “Mengenal Hari Raya Konfusiani” yang menyatakan, tahun baru imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci khonghucu, yaitu kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi: "Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5). (Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).

Setelah melihat kesimpulan sementara dari dua tokoh di atas, maka dapat terlihat jika kedua pernyataan tadi berbeda satu sama lain. Oleh karenanya hal inilah yang mengakibatkan awal mula dari pro-kontra akan perayaan imlek itu sendiri di kalangan masyarakat.

Seringkali pandangan masyarakat tentang imlek dikaitkan dengan suatu ritual yang dilakukan satu kali dalam setahun, istilahnya seperti tahun barunya umat Cina. Akan tetapi ada juga sebagian orang yang menyatakan bahwa imlek adalah ritual keagamaan umat Cina. Pandangan masyarakat hampir selaras dengan dua pernyataan yang diungkapkan kedua penulis sebelumnya. Dari sinilah muncul suatu permasalahan apakah imlek adalah tradisi atau ritual keagamaan umat Cina?

Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya." (QS Al-A’raaf [7] : 3).

Kalimat "maa unzila ilaykum min rabbikum" dalam ayat di atas yang berarti "apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, [Beirut : Dar Shaadir], Juz III/2).

Dari sini dapat kita lihat bahwa untuk mengetahui dan memutuskan sesuatu itu patokannya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa saja yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang harus dikerjakan. Sedangkan apabila yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka tidak boleh dikerjakan.

Maka kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut merayakan Imlek menurut Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh atau tidak menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi atau dari agama.

Apabila seorang muslim menggunakan tolok ukur tadi, yaitu melihat sesuatu itu dari tradisi atau agama, ia akan tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya ia bertentangan dengan Islam dan adakalanya pula sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada masyarakat Barat yang Kristen. Free sex jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan kotor itu bukan bagian agama Kristen atau Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina. Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?

Seiring dengan itu, bagaimanapun juga urgensi persaudaran yang pluralis masih menjadi momok terdepan bagi suatu perayaan seperti imlek. Hal ini dikarenakan apabila imlek berbabsiskan pada sifat inklusif, bukan tidak mungkin akan menghantarkan fanatisme agama. Untuk mengatasi agar hal tersebut, patutlah kiranya perayaan imlek diekspose secara eksklusif, agar tidak terjadi suatu fanatisme agama yang berlebihan. Memang hal ini perlu pemikiran dan perlakuan yang tidak mudah bagi masyarakat. Akan tetapi inilah semestinya yang harus diterapkan dalam basis Negara kita yang cinta akan persaudaraan. Seperti semboyan kita, “Bhineka Tunggal Ika” Berbeda-beda, tapi tetap satu jua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar